Rabu, 08 Juli 2015

Community Engagement Melalui Program Wisata Edukasi Green Industry Sebagai Strategi PT. Semen Indonesia (Persero), Tbk Dalam Merespon Krisis Kendeng, Rembang

Community Engagement Melalui Program Wisata Edukasi Green Industry Sebagai Strategi PT. Semen Indonesia (Persero), Tbk  Dalam Merespon Krisis Kendeng, Rembang

Oleh : Ahmad Shofiudin Latif


1.    Studi Kasus
Studi ini difokuskan untuk mengkaji peran Komunitas Blogger WEGI yang dibentuk oleh PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk (PTSI) melalui program Wisata Edukasi Green Industry (WEGI) sebagai salah satu praktik public relations di sektor industri dalam menghadapi krisis terkait dengan pembangunan pabrik baru di Pegunungan Kendeng, Rembang, Jawa Tengah.
Krisis antara PTSI dan masyarakat Kendeng yang bermula pada awal 2014 tersebut terjadi karena kekawatiran warga akan rusaknya wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih  dimana empat diantaranya merupakan goa yang memiliki sungai bawah tanah aktif. Terdapat 128 mata air yang tersebar di wilayah CAT Watuputih sebagai mata air parenial yang mengalir di sepanjang musim kemarau dan penghujan. Selain itu beberapa isu-isu yang semakin memperparah krisis tersebut antara lain adalah pembangunan pabrik akan mengancam sektor pertanian dalam beberapa puluh tahun mendatang karena air akan habis sehingga sawah-sawah tidak mendapatkan aliran air irigasi, area pertanian akan tertimbun debu dan udara akan tercemari oleh debu yang dihasilkan pabrik, pabrik PTSI dinilai akan merusak ekosistem, pembangunan pabrik tidak ada pemanfaatan bagi masyarakat, bekas tambang akan dibiarkan terbengkalai, dan ijin pembangunan pabrik tidak mematuhi AMDAL. Isu-isu di atas berhembus secara langsung di masyarakat Kendeng dan di dunia maya melalui beberapa website misalnya walhijatim.or.id, islambergerak.com, www.sosbencana.com, dan masih banyak beberapa website lokal yang menghembuskan isu-isu terkait kerusakan lingkungan yang akan terjadi sebagai akibat dari pembangunan pabrik PTSI.
Selanjutnya warga sekitar melakukan unjuk rasa penolakan pembangunan pabrik. Puncaknya ketika pada 1 September 2014 warga Rembang meminta PTUN mencabut surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 Tahun 2012 pada 7 Juni 2012 tentang izin penambangan PT Semen Gresik (anggota holding company PT Semen Indonesia) di Kabupaten Rembang (www.nasional.tempo.co). Mereka berdalih tidak pernah mendapatkan sosialisasi terkait pembangunan pabrik oleh PTSI. Sedangkan Majelis hakim menilai, dalam rencana pendirian pabrik, tergugat telah memenuhi kewajibannya dengan menerapkan asas keterbukaan public di antaranya melalui diadakannya sosialisasi kepada perangkat desa dan masyarakat selama 90 hari, dan proses-proses tersebut telah dilalui (www.nasional.tempo.co). Sebelumnya isu penentangan pembangunan pabrik ini telah diperhitungkan oleh PTSI akan berpotensi krisis. Karena itu beberapa strategi public relations ditempuh oleh PTSI antara lain melalui sosialisasi kepada kepala desa. Namun tidak meratanya sosialisasi tersebut menyebabkan krisis muncul. Memang benar PTSI telah memperoleh ijin AMDAL namun sosialisasi kepada berbagai pihak termasuk LSM dan komunitas-komunitas yang berkepentingan kurang merata. Grunig dalam Paine (2002) menyatakan bahwa komunikasi seharusnya dilakukan secara merata kepada stakeholders terkait secara merata sebelum sebuah keputusan yang berpotensi krisis diambil. Jika komunikasi atau sosialisasi secara preventif tidak ditempuh maka kemungkinan menyelesaikan krisis dan konflik menjadi kecil.
Coombs dalam www.instituteforpr.org  (2007) menyatakan bahwa di masa krisis, stakeholders termasuk awak media akan cenderung mencari informasi melalui internet karena dunia internet adalah wilayah yang paling dekat dengan mereka untuk dengan mudah memperoleh informasi terkait krisis. Namun, Taylor dan Kent dalam www.instituteforpr.org (2007) menekankan bahwa website perusahaan merupakan media untuk merepresentasikan wajah perusahaan dan bukan media yang tepat untuk menceritakan kronologi krisis yang terjadi. Praktik online public relations yang tepat menurut Coombs (2007) salah satunya adalah dengan menyediakan website yang unik secara tersendiri sebagai bagian dari website resmi perusahaan untuk menginformasikan update kronologi dan perkembangan krisis. Sejalan dengan pernyataan Coombs, sebagai respon dari krisis yang dihadapi PTSI telah men-develop sebuah website tersendiri di alamat wisatagreenindustry.com. Namun, konten website tersebut lebih banyak pada tautan-tautan ke blog para Komunitas Blogger WEGI yang masing-masing menulis perspektifnya sendiri terkait krisis dan perusahaan. Masing-masing blogger mengemukakan pendapatnya tentang krisis yang dihadapi PTSI dan apa yang mereka ketahui tentang PTSI melalui tulisan, foto, dan video berdasarkan pengalamannya mengikuti WEGI. Bahkan beberapa dari mereka menulis secara detail tentang bagaimana teknologi eksplorasi PTSI yang akan diterapkan di Rembang telah memenuhi dan bahkan diatas standar internasional yang akan mampu meminimalisir sekecil mungkin kerusakan lingkungan yang dikawatirkan warga Kendeng, Rembang.
Komunitas Blogger WEGI merupakan komunitas yang dibentuk oleh PTSI melalui tiga kali sesi WEGI. Periode pertama dilakukan pada Desember 2014 mayoritas pesertanya adalah masyarakat Rembang, periode kedua Februari 2015, dan periode ketiga pada Juni 2015 yang diikuti oleh blogger dari berbagai daerah seperti Bandung, Jakarta, Semarang, Jogja, Rembang, Tuban, Surabaya, Bojonegoro, dan Gresik. Setiap edisi WEGI diikuti oleh kurang lebih 150 peserta yang merupakan penggiat media sosial dan blogger dengan usia rata-rata antara 19–25 tahun. Pada program WEGI ini para peserta diberikan edukasi seputar usaha yang dilakukan oleh PTSI mulai proses produksi, pembangunan pabrik, teknologi ramah lingkungan yang digunakan, product development, pangsa pasar, prospek bisnis, pembinaan mitra UKM, aktivitas CSR, dan kepedulian terhadap masyarakat sekitar. Kemudian berbekal pengetahuan yang telah didapat para peserta dipacu untuk mewujudkan referensi pengetahuannya seputar PTSI kedalam karya-karya berupa foto, tulisan, video reportase yang wajib mereka upload di blog dan media sosial yang mereka miliki dengan mencatumkan mentions kepada akun twitter dan facebook PTSI. Melalui program ini, PTSI benar-benar ingin memaksimalkan para peserta untuk berperan sebagai agen-agen yang akan memberikan pencerahan terhadap masyarakat terkait apa saja yang selama ini dilakukan oleh PTSI. Mereka diharapkan menjadi online public relations bagi PTSI yang akan membantu PTSI berjuang di masa krisis melalui tulisan-tulisannya di blog dan media sosial yang mencerahkan. Menurut Briones dan Paquette (2013) media sosial kini telah dikenal secara luas sebagai aspek yang penting dan dibutuhkan dalam praktik-praktik public relations. Semakin banyaknya stakeholder dari kalangan yang lebih muda (termasuk dalam digital natives) yang terlibat dalam praktik online public relations membuat batasan antara kegunaan personal dan profesional dari media sosial tidak terdefinisi secara jelas. Sehingga praktisi profesional public relations harus menyadari bahwa mentoring atau proses transfer pengetahuan tentang organisasi kepada stakeholder yang memiliki potensi sebagai agen-agen komunikasi bagi organisasi.
Melalui WEGI, PTSI meyadari bahwa mereka tidak bisa bekerja sendirian untuk mencerahkan begitu banyak masyarakat yang masih buta terkait bisnis yang mereka lakukan. Kekuatan mereka tidak sebanding dengan banyaknya jumlah stakeholders.  Grunig et al. dalam Omilion-Hodges et al. (2012) mengemukakan bahwa walaupun praktisi public relations sangat berperan krusial dalam perjalanan sukses sebuah organisasi, mereka juga harus menyadari bahwa pengetahuan yang dimiliki oleh stakeholders tekait organisasi juga merupakan fondasi yang kuat bagi public relations. Oleh karena itu para praktisi public relations harus mengetahui taktik public relations yang impactful di mata stakeholders. Yang berarti organisasi tidak bisa asal-asalan dalam melibatkan stakeholders pada sebuah aktivitas public relations. Apa yang dilakukan PTSI melalui WEGI ditinjau dari kualitas pengetahuan yang diperoleh peserta (stakeholder) sangat sesuai dengan apa yang diharapkan oleh PTSI. Hal itu bisa dilihat dari kesesuaian antara materi yang diberikan pada waktu program dan respon peserta yang berupa tulisan, foto, maupun video reportase pada blog dan media sosial setelah mengikuti program. Materi pengetahuan terkait perusahaan yang disampaikan oleh para praktisi dari PTSI tidak ada yang terlewatkan oleh peserta. 
PTSI melihat kekuatan para blogger ini sebagai potensi yang sangat besar karena mereka bisa menjadi online public relations yang mampu memberikan pengaruh bagi publik atau stakeholders-nya dan mampu memberikan solusi dalam situasi sehari-hari maupun krisis (Berger dalam Omilion-Hodges et al., 2012).  Kehadiran komunitas blogger sebagai agen-agen komunikasi bagi PTSI ini diharapkan dapat menjadi salah satu tools dari banyaknya aktivitas public relations yang ditempuh PTSI dalam mengurai krisis yang dihadapi dan mengantisipasi terjadinya krisis di masa depan.
Studi ini akan mengidentifikasi dan mengkaji aktivitas online public relations yang dijalankan oleh para Komunitas Blogger WEGI dalam perannya untuk mendukung PTSI dalam menghadapi dan mengurai krisis yang terjadi terkait dengan pembangunan pabrik semen baru di Kendeng, Rembang. Kemudian akan dibahas bagaimanakah peluang-peluang pelibatan stakeholders dalam aktivitas online public relations di sektor industri.
2.    Signifikansi Permasalahan
Menurut Coombs (2007), manajemen krisis merupakan fungsi yang sangat krusial bagi organisasi, karena sedikitpun kesalahan yang terjadi dalam menangani krisis akan memberikan dampak yang tidak baik bagi stakeholders, kerugian bagi organisasi dan mengancam keberadaan organisasi. Sementara itu Coombs menambahkan bahwa public relations merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam sebuah tim manajemen krisis. Oleh karena itu praktik-praktik dan pengetahuan tentang bagaimana krisis harus di kelola dan diatasi merupakan modal mutlak yang harus dimiliki oleh setiap praktisi public relations.
Krisis menurut Coombs (2015) didefinisikan sebagai ancaman signifikan yang menghasilkan beberapa konsekuensi negatif jika tidak ditangani secara hati-hati dan terorganisir. Manajemen krisis berperan untuk mengantisipasi atau mengurangi dampak dari krisis yang dapat mempengaruhi organisasi, stakeholders maupun bisnis dan industri terkait.
Manajemen pengelolaan krisis menurut Coombs dibagi menjadi tiga fase yaitu (1) pre-crisis, (2) crisis response, dan (3) post-crisis. Fase pre-crisis terkait dengan antisipasi dan persiapan melalui pengelolaan isu-isu. Crisis response merupakan fase dimana manajemen harus berhadapan dan merespon sebuah krisis. Sedangkan pada fase post-crisis, manajemen harus mencari solusi untuk mempersiapkan dan menyusun komitmen yang akan ditempuh pada crisis phase jika krisis mungkin terjadi di waktu mendatang.
Berdasarkan deskripsi konflik yang telah disampaikan sebelumnya, krisis yang dialami PTSI termasuk dalam fase Crisis response, dimana tim manajemen krisis PTSI harus menghadapi krisis yang sedang terjadi dan harus direspon dengan langkah-langkah yang tepat sesuai dengan karakteristik krisis. Salah satu praktik public relations yang dilakukan PTSI pada masa krisis adalah dengan melaksanakan program WEGI yang merupakan perpaduan program factory visit dengan online public relations.
Permasalahan terkait krisis PTSI ini dipandang sebagai hal yang penting untuk dikaji karena seperti dikemukakan Coombs (2007) bahwa krisis mampu mendatangkan dampak yang negatif bagi organisasi dan stakeholders. Terlebih jauh lagi Coombs (2007) menambahkan bahwa krisis bisa membawa organisasi kepada masalah seperti (1) hilangnya kenyamanan publik, (2) kerugian finansial, dan (3) turunnya reputasi. Selain itu berdasarkan UU RI Nomor  19  tahun  2003 tentang BUMN bahwa  PTSI sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang strategis merupakan tulang punggung perekonomian negara yang keterlibatannya dengan rakyat tentunya tidak hanya diukur melalui pencapaian finansial namun juga ukuran hubungan yang saling menguntungkan dengan masyarakat sekitar. Sedangkan krisis bisa membawa PTSI dalam kondisi yang semakin jauh dengan stakeholders.
Sementara itu salah satu respon PTSI melalui WEGI dan Komunitas Blogger WEGI sebagai company online ambassador telah sejalan dengan Initial Crisis Response Best Practices menurut Coombs (2007) yaitu pemanfaatan website secara tersendiri untuk menampung informasi seputar krisis. Website wisatagreenindustry.com yang sejatinya adalah website untuk program WEGI tersebut memiliki konten tulisan-tulisan para blogger peserta WEGI yang diharapkan dapat memberikan pengaruh bagi masyarakat yang belum mengetahui informasi tentang PTSI. Menurut Omilion-Hodges et al. (2012), praktik online public relations melaui blog akan lebih dipandang kredibel di masa krisis dari pada taktik tradisional lainnya. Artinya, langkah yang diambil PTSI dengan mengandalkan blogger untuk krisis ini bisa dipandang tepat namun yang belum diketahui adalah apakah tulisan-tulisan para blogger tersebut menjangkau masyarakat yang terdampak langsung oleh pembangunan pabrik di Kendeng, Rembang.
Praktik online public relations ini juga penting untuk dikaji mengingat perkembangan masyarakat sekarang sudah bergeser pada generasi digital natives yang artinya wilayah stakeholders aktivitasnya mulai bergeser juga dari dunia nyata ke dunia virtual. Oleh karena itu, treatment dari organisasi terkait public relations mau tidak mau juga harus mengikuti perkembangan ini.
3.    Pendekatan Teoritis
3.1 Komunikasi di Masa Krisis
            Kekuatan komunikasi di masa krisis akan sangat menentukan bagaimana perjuangan dalam mempertahankan reputasi organisasi. Menurut Grunig dalam Paine (2002) komunikasi yang paling efektif adalah yang dilakukan saat isu-isu belum bertransformasi lebih jauh menjadi krisis. Grunig menambahkan akan sangat berat bagi sebuah organisasi dalam menyelesaikan krisis jika pada tahap isu organisasi belum memulai untuk berkomunikasi dengan publiknya. Dalam statement-nya ini Grunig berusaha menjelaskan bahwa tindakan preventif tetaplah yang terbaik dalam mencegah dan mengelola krisis. Perusahaan harus cepat berinteraksi dengan stakeholders saat isu-isu muli muncul. Artinya komunikasi melalui aktivitas public relations yang paling utama seharusnya dilakukan pada fase pre-crisis.
            Namun jika krisis telah terjadi tidak ada alasan bagi sebuah organisasi selain menghadapi dan memberikan respon terhadap krisis tersebut. Coombs (2014) melalui Initial Crisis Response Best Practices menyebutkan beberapa langkah yang harus dilakukan dalam sebuah komunikasi di fase krisis yaitu memberikan respon secara cepat pada satu jam pertama, inventarisir fakta-fakta krisis dengan akurat, secara konsisten memberikan update perkembangan krisis kepada spokesperson, menjadikan keamanan publik sebagai prioritas utama, menggunakan saluran komunikasi yang tersedia (media sosial, website, intranet), menunjukkan simpati dan kepedualian kepada terdampak krisis, melibatkan karyawan dalam merespon krisis, menyediakan konseling bagi terdampak krisis dan karyawan.          
            Krisis yang menerpa sebuah organisasi juga mengakibatkan turunnya reputasi organisasi di mata stakeholders (Coombs, 2007). Oleh karena itu komunikasi untuk memulihkan reputasi organisasi merupakan langkah yang harus ditempuh. Coombs (2014) memaparkan beberapa strategi dalam memperbaiki reputasi organisasi.
Master List of Reputation Repair Strategies (Coombs, 2014)
a)      Attack the accuser: crisis manager confronts the person or group claiming something is wrong with the organization.
b)      Denial: crisis manager asserts that there is no crisis.
c)      Scapegoat: crisis manager blames some person or group outside of the organization for the crisis.
d)      Excuse: crisis manager minimizes organizational responsibility by denying intent to do harm and/or claiming inability to control the events that triggered the crisis.
e)      Provocation: crisis was a result of response to some one else’s actions.
f)        Defeasibility: lack of information about events leading to the crisis situation.
g)      Accidental: lack of control over events leading to the crisis situation.
h)      Good intentions: organization meant to do well
i)        Justification: crisis manager minimizes the perceived damage caused by the crisis.
j)        Reminder: crisis managers tell stakeholders about the past good works of the organization.
k)      Ingratiation: crisis manager praises stakeholders for their actions.
l)        Compensation: crisis manager offers money or other gifts to victims.
m)    Apology: crisis manager indicates the organization takes full responsibility for the crisis and asks stakeholders for forgiveness.

Sebagai catatan bahwa pemulihan reputasi bisa dilakukan di fase krisis, post-crisis, maupun keduanya. Namun tidak semua krisis membutuhkan usaha pemulihan reputasi.jika usaha pemulihan reputasi memang sangat dibutuhkan maka hal itu akan lebih baik dilakukan pada fase post-crisis (Coombs, 2014).
3.2 Social Media Crises (Paracrises)
            Semakin meluasnya penggunaan media sosial dan blog memberikan peluang bagi beragamnya krisis yang mungkin dihadapi oleh sebuah perusahaan. Krisis di area media sosial sebenarnya adalah resiko dari perusahaan ketika mereka mengalami krisis di dunia nyata (Research Journal of the Institute for Public Relations Vol. 1, 2014). Artinya bahwa dengan semakin meleknya masyarakat akan penggunaan internet dan media sosial maka meluasnya krisis ke ranah online merupakan resiko bagi organisasi yang mengalami krisis. Perbedaaanya adalah krisis yang terekspos ke media sosial akan lebih cepat menyebar karena sifat media sosial yang lebih mudah di akses.
            Salah satu jenis krisis di media sosial adalah venting. Yaitu ketika stakeholders melakukan perbuatan yang ingin menjatuhkan organisasi dari segi apapun misalnya ketika mereka mem-posting sesuatu yang negatif tentang organisasi tersebut (Research Journal of the Institute for Public Relations Vol. 1, 2014).
            Langkah yang harus ditempuh ketika terjadi venting adalah membiarkan venting tetap terjadi, biarkan stakeholders melakukan apapun bahkan jika komennya menyakitkan bagi perusahaan. Hindari untuk membalas dengan kata-kata yang kasar  (GrĂ©goire, Laufer & Tripp dalam Research Journal of the Institute for Public Relations Vol. 1, 2014).
3.3 Corporate Social Communication (CSC)
            Menurut Park & Cameron (2013) CSC merupakan aktivitas yang proaktif, berorientasi masa depan untuk meyeimbangkan segi finansial, sosial, dan lingkungan dengan rencana yang spesifik dan berkelanjutan melalui gerakan pelibatan stakeholders dalam edukasi maupun pemberdayaan.
CSC ini dinilai lebih efektif bagi industri dalam mendapatkan kepercayaan stakeholders dibandingkan dengan apa yang selama ini dilakukan oleh pelaku industri dengan pembelaan-pembelaannya terkait isu-isu seputar resiko terhadap lingkungan yang dikeluhkan oleh stakeholders sebelum terjadi sebuah krisis. CSC juga lebih efektif dalam membangun sebuah legitimasi sosial dan lingkungan. Perusahaan yang melakukan CSC dipandang lebih akomodatif terhadap stakeholders. Selain itu, ketika sebuah perusahaan diterpa krisis CSC juga dinilai lebih efektif dalam membangun reputasi perusahaan menjadi lebih positif (Park & Cameron, 2013)
3.4 Public Relations di Era Digitalisasi
            Grunig (2009) menjelaskan bahwa walaupun tidak banyak mendapatkan perhatian dalam perannya pada aktivitas public relations, new media memiliki potensi untuk mejadikan aktivitas public relations menjadi lebih global, strategis, interaktif, simetris dan dialogis, dan socially responsible.  Namun yang terjadi adalah banyak praktisi yang menggunakan new media sama seperti apa yang  mereka lakukan dengan media-media sebelumnya hanya dengan membombardir stakeholders dengan pesan-pesan yang tidak mereka butuhkan daripada memilih memanfaatkan new media secara strategis yang berarti berinteraksi dengan publik untuk memperoleh informasi dan referensi yang dapat mendukung pengambilan keputusan perusahaan.
            New media juga memberikan peluang untuk menyebarluaskan pengalaman antara stakeholders-organisasi yang telah dipupuk melalui kegiatan stakeholders engagement ke dunia maya. Yang dan Kang (2009) dalam penelitiannya tentang validitas engagement pada blog, salah satu varian new media yaitu blog memiliki skala engagement yang valid dan reliable. Dimensi-dimensi engagement yang diukur antara lain (1) interaktivitas, (2) hubungan stakeholders-organisasi (dimensi kognitif), (3) dimensi perilaku organisasi, (4) word-of-mouth intentions (the behavioral dimension). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa blog yang interaktif mamapu membangun hubungan stakeholders-organisasi, sikap yang positif terhadap organisasi, dan dukungan berupa word-of-mouth dari stakeholders.
3.5 Teori Stakeholder Engagement
             Menurut Waddock (2002) stakeholder engagement  dijelaskan sebagai kolaborasi berbasis kepercayaan antara para individu dan atau institusi sosial dengan objektif-objektif berbeda yang hanya dapat diraih dengan kebersamaan. Dengan demikian, organisasi perlu untuk mengetahui permintaan dari para pemangku kepentingannya (stakeholders) yang mana dapat dilakukan dengan mencari tahu tentang apakah ada perbedaan kepentingan, kepedulian, dan ekspektasi dari bermacam-macam kelompok para pemangku kepentingan yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan organisasi. Dalam kaitannya dengan hal-hal tersebut, stakeholder engagement dapat memfasilitasi organisasi untuk mengenal permintaan-permintaan atau keinginan-keinginan dari stakeholders (Isenmann dan Kim dalam Tandiawan, 2013). Engagement sendiri juga berarti pertanggungjawaban organisasi terhadap para pemangku kepentingan dan memastikan bahwa keputusan-keputusan organisasi didasari oleh pengertian yang penuh dan akurat dari asprirasi-aspirasi dan kebutuhan-kebutuhan para pemangku kepentingannya (ISEA dalam Tandiawan, 2013).
4.    Analisis
Studi ini dilakukan dengan observasi lapangan saat program WEGI edisi 3 dilaksanakan pada 6 Juni 2015 dan juga pengamatan di media sosial dan blog para peserta WEGI edisi1,2, dan 3. Observasi lapangan yang dilakukan meliputi proses pendampingan pada perjalanan peserta menuju pabrik oleh pemateri, sesi presentasi dan tanya jawab, dan sesi factory visit. Sedangkan observasi online dilakukan dengan  mengamati tulisan-tulisan peserta WEGI di blog-blog yang tertaut dari website wisatagreenindustry.com.
Hasil dari pengamatan tersebut menunjukkan bahwa 35 orang dari 150 orang peserta menjadi lebih luas pengetahuannya tentang PTSI. Bahkan pada sesi presentasi walaupun pihak PTSI tidak memberikan hand out namun para peserta aktif menulis konten presentasi. 35 peserta tersebut menulis tentang pengalaman mereka dipadukan dengan pengetahuan yang mereka dapat di blog maing-masing.
4.1    Wisata Edukasi Green Industry (WEGI)
Wisata Edukasi Green Industry (WEGI) merupakan program berbasis komunitas online yang diadakan oleh PTSI. Program yang memadukan antara wisata industri (factory visit) dan online citizen journalism ini diadakan setelah adanya krisis dan konflik terkait pembangunan pabrik baru di Kendeng, Rembang.
Tujuan dari diadakannya program WEGI ini adalah untuk mengedukasi masyarakat yang diwakili oleh para komunitas blogger terutama dari Rembang bahwa pabrik semen yang dijalankan oleh PTSI ini telah memenuhi berbagai standar keamanan dan keramahan terhadap lingkungan. Program ini juga sebagai tanggapan dari konflik yang terjadi di Rembang setelah PTSI dituntut oleh warga Rembang di PTUN Semarang, Jawa Tengah karena dituduh tidak menjalankan AMDAL sesuai dengan ketentuan. Website www.bumn.go.id/semenindonesia memberikan deskripsi singkat terkait WEGI :
     “WEGI akan terus bergulir dan menjadi embrio Komunitas Green Industry di Indonesia. Partisipasi sobat semua tidak hanya akan memberikan manfaat bagi Semen Indonesia Group, tetapi juga membangun industri hijau di Indonesia. Apa yang kita lakukan hari ini adalah salah satu upaya memberikan warisan yang baik dan SDA yang masih dapat dimanfaatkan anak cucu di masa mendatang."
Dari deskripsi tersebut PTSI melalui WEGI berusaha untuk membangun engagement melalui pelibatan stakeholders-nya dalam melakukan edukasi kepada publik untuk turut membangaun reputasi PTSI sebagai salah satu BUMN yang telah menerapkan konsep green industry.
4.2    Peran dan Fungsi Wisata Edukasi Green Industry (WEGI)
Program WEGI yang dilaksanakan setelah terjadinya krisis di Kendeng, Rembang merupakan salah satu respon PTSI terhadap krisis tersebut. Program ini merupakan penerapan Corporate Social Communication (CSC) yang dipadukan dengan stakeholder engagement dimana PTSI dengan proaktif melibatkan stakeholders dalam sebuah aktivitas bersama untuk menyatukan visi (Park & Cameron, 2013) sehingga melahirkan saling kesepahaman tujuan antara keduabelah pihak (Waddock, 2002)  .Melalui WEGI, PTSI berusaha menunjukkan bahwa metode dan cara eksplorasi tambang batu dan produksi semen yang mereka lakukan selama ini sudah berada di jalur yang benar dengan menerapkan teknologi-teknologi yang ramah lingkungan dan bertanggung jawab terhadap lingkungan sekitar. Program WEGI juga merupakan usaha yang ditempuh PTSI untuk mengingatkan bahwa selama ini pihaknya telah melakukan eksplorasi dan kaidah-kaidah tanggung jawab lingkungan yang telah memberikan manfaat bagi lingkungan dan masyarakat seperti apa yang telah mereka lakukan di pabrik Gresik dan Tuban.
Usaha-usaha yang dilakukan oleh PTSI melalui WEGI tersebut sejalan dengan beberapa poin dalam Master List of Reputation Repair Strategies yang dikemukakan oleh (Coombs, 2014) yaitu good intentions dan reminder. Strategi good intentions yaitu menjelaskan kepada stakeholders bahwa apa yang mereka lakukan telah memenuhi standar-standar yang ditetapkan pemerintah dalam industri dan tidak bermaksud memberikan kerugian maupun kerusakan bagi lingkungan. Sedangkan reminder yaitu mengingatkan stakeholders bahwa apa yang mereka lakukan sebelumnya telah memberikan kebaikan dan manfaat bagi stakeholders.
Karena krisis juga telah berkembang ke ranah virtual atau dunia maya PTSI melalui WEGI ini berusaha untuk merangkul para komunitas blogger untuk dijadikan sebagai company ambassador yang diharapkan mampu memberikan edukasi kepada stakeholders melalui karya berupa tulisan,foto, mupun video di media sosial dan blog. Salah satu peran para Komunitas Blogger WEGI adalah meng-counter para stakeholders pelaku venting dengan memberikan informasi-informasi yang baik terkait PTSI. Beberapa stakeholder melakukan venting dengan menuliskan berbagai komentar yang negatif tentang PTSI dalam blog mereka untuk mempengaruhi publik (Research Journal of the Institute for Public Relations Vol. 1, 2014). Dalam kasus ini Komunitas Blogger WEGI terlibat dalam menyeimbangkan informasi terkait PTSI dengan mem-posting informasi-informasi positif yang mereka dapatkan dari keikutsertaannya di program WEGI.
            Komunitas yang telah terbentuk dalam tiga edisi WEGI ini terbukti sangat antusias untuk menjadi company ambassador PTSI dengan banyaknya tulisan dan karya-karya lain yang mereka posting di blog pribadi, youtube, facebook dan twitter. Beberapa status facebook, twitter, dan blog bahkan dikomentari oleh teman-temannya secara positif sehingga beberapa dari mereka tertarik ingin mengikuti program WEGI ini.
5. Kesimpulan
Studi tentang WEGI ini memaparkan bahwa munculnya komunitas-komunitas yang memiliki potensi untuk memberikan dukungan bagi sebuah perusahaan merupakan peluang yang harus ditangkap oleh perusahaan untuk merangkul mereka melalui kegiatan berbasis community engagement maupun CSC.  Beberapa contoh potensi komunitas bisa dilihat melalui keterlibatannya di dunia maya dalam mendukung perusahaan melalui karya-karya tulisannya.
Walaupum efektifitas pesan-pesan mereka melalui blog dan media sosial belum bisa terukur, program ini masih memiliki peluang untuk dikembangkan lagi misalkan dari segi keaktifan peserta di dunia maya dalam mempromosikan karya-karya tulisannya. Teknologi Search Engine Optimization (SEO) yang semakin mendukung sebuah website untuk mudah dicari dan mudah tampil di search engine mungkin bisa menjadi pilihan tambahan untuk meningkatkan tingkat penyebaran pesan.
Program WEGI ini memperlihatkan bahwa sangat mungkin membangun kedekatan dengan stakeholders dan memperoleh dukungan dari mereka asalkan mereka dilibatkan dalam kegiatan yang menempatkan mereka sebagai pihak yang memiliki potensi dalam perkembangan dan pertumbuhan sebuah perusahaan.



Referensi


Briones, R., Janoske, M., & Paquette, M. (2013). New media, new mentoring: An exploration of social media’s role in public relations mentorships. PRism 9(1): http://www.prismjournal.org/homepage.html
Grunig, J. E. (2009). Paradigms of global public relations in an age of digitalisation. PRism 6(2):http://praxis.massey.ac.nz/prism_on-line_journ.html
Omilion-Hodges, L. M., Baker, C. R., & Weaver-Petry, B. (2012). Understanding power in public relations in the age of digital natives and citizen journalists. PRism 9(2): http://www.prismjournal.org/homepage.html
Park. S., & Cameron, G. T. (2013). Proactive environmental risk communication:Science reporters’ evaluation of for-profit corporations’ sustainability communication. PRism Journal The Institute for Public Relations
Paine, Katie Delahaye (2002). How to measure your results in a crisis Copyright. PRism Journal The Institute for Public Relations
Research Journal of the Institute for Public Relations Vol. 1, No. 1 (Summer 2014) © Institute for Public Relations
Tandiawan, Wendy (2013). The state of disclosures on stakeholder engagement in sustainability reporting in Australian local councils. Universitas Tarumanagara, Jakarta
Waddock, S.A., Bodwell, C., Graves, S.B. 2002. Responsibility : The New Business Imperative. Academy of Management Executive, Vol. 16 No.2
Yang, Sung-Un, & Kang, Minjeong (2009). Measuring blog engagement: Testing a four-dimensional scale. Public Relations Review, 35(3), 323-324.