Community Engagement Melalui Program Wisata Edukasi Green Industry Sebagai Strategi PT. Semen Indonesia (Persero), Tbk Dalam Merespon Krisis Kendeng, Rembang
Oleh : Ahmad Shofiudin Latif
1.
Studi
Kasus
Studi ini
difokuskan untuk mengkaji peran Komunitas Blogger WEGI yang dibentuk oleh PT.
Semen Indonesia (Persero) Tbk (PTSI) melalui program Wisata Edukasi Green
Industry (WEGI) sebagai salah satu praktik public
relations di sektor industri dalam menghadapi krisis terkait dengan
pembangunan pabrik baru di Pegunungan Kendeng, Rembang, Jawa Tengah.
Krisis antara
PTSI dan masyarakat Kendeng yang bermula pada awal 2014 tersebut terjadi karena
kekawatiran warga akan rusaknya wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih dimana empat diantaranya merupakan goa yang
memiliki sungai bawah tanah aktif. Terdapat 128 mata air yang tersebar di
wilayah CAT Watuputih sebagai mata air parenial yang mengalir di sepanjang
musim kemarau dan penghujan. Selain itu beberapa isu-isu yang semakin
memperparah krisis tersebut antara lain adalah pembangunan pabrik akan mengancam
sektor pertanian dalam beberapa puluh tahun mendatang karena air akan habis
sehingga sawah-sawah tidak mendapatkan aliran air irigasi, area pertanian akan
tertimbun debu dan udara akan tercemari oleh debu yang dihasilkan pabrik, pabrik
PTSI dinilai akan merusak ekosistem, pembangunan pabrik tidak ada pemanfaatan
bagi masyarakat, bekas tambang akan dibiarkan terbengkalai, dan ijin
pembangunan pabrik tidak mematuhi AMDAL. Isu-isu di atas berhembus secara
langsung di masyarakat Kendeng dan di dunia maya melalui beberapa website misalnya walhijatim.or.id,
islambergerak.com, www.sosbencana.com,
dan masih banyak beberapa website lokal yang menghembuskan isu-isu terkait
kerusakan lingkungan yang akan terjadi sebagai akibat dari pembangunan pabrik
PTSI.
Selanjutnya
warga sekitar melakukan unjuk rasa penolakan pembangunan pabrik. Puncaknya
ketika pada 1 September 2014 warga Rembang meminta PTUN mencabut surat
Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 Tahun 2012 pada 7 Juni 2012
tentang izin penambangan PT Semen Gresik (anggota holding company PT Semen Indonesia) di Kabupaten Rembang (www.nasional.tempo.co).
Mereka berdalih tidak pernah mendapatkan sosialisasi terkait pembangunan pabrik
oleh PTSI. Sedangkan Majelis hakim menilai, dalam rencana pendirian pabrik,
tergugat telah memenuhi kewajibannya dengan menerapkan asas keterbukaan public
di antaranya melalui diadakannya sosialisasi kepada perangkat desa dan
masyarakat selama 90 hari, dan proses-proses tersebut telah dilalui
(www.nasional.tempo.co). Sebelumnya isu penentangan pembangunan pabrik ini
telah diperhitungkan oleh PTSI akan berpotensi krisis. Karena itu beberapa
strategi public relations ditempuh
oleh PTSI antara lain melalui sosialisasi kepada kepala desa. Namun tidak
meratanya sosialisasi tersebut menyebabkan krisis muncul. Memang benar PTSI
telah memperoleh ijin AMDAL namun sosialisasi kepada berbagai pihak termasuk
LSM dan komunitas-komunitas yang berkepentingan kurang merata. Grunig dalam
Paine (2002) menyatakan bahwa komunikasi seharusnya dilakukan secara merata
kepada stakeholders terkait secara
merata sebelum sebuah keputusan yang berpotensi krisis diambil. Jika komunikasi
atau sosialisasi secara preventif tidak ditempuh maka kemungkinan menyelesaikan
krisis dan konflik menjadi kecil.
Coombs dalam
www.instituteforpr.org
(2007) menyatakan bahwa di masa krisis, stakeholders termasuk awak media akan
cenderung mencari informasi melalui internet karena dunia internet adalah
wilayah yang paling dekat dengan mereka untuk dengan mudah memperoleh informasi
terkait krisis. Namun, Taylor dan Kent dalam www.instituteforpr.org (2007) menekankan
bahwa website perusahaan merupakan media untuk merepresentasikan wajah
perusahaan dan bukan media yang tepat untuk menceritakan kronologi krisis yang
terjadi. Praktik online public relations
yang tepat menurut Coombs (2007) salah satunya adalah dengan menyediakan website
yang unik secara tersendiri sebagai bagian dari website resmi perusahaan untuk
menginformasikan update kronologi dan
perkembangan krisis. Sejalan dengan pernyataan Coombs, sebagai respon dari
krisis yang dihadapi PTSI telah men-develop
sebuah website tersendiri di alamat wisatagreenindustry.com. Namun, konten
website tersebut lebih banyak pada tautan-tautan ke blog para Komunitas Blogger
WEGI yang masing-masing menulis perspektifnya sendiri terkait krisis dan
perusahaan. Masing-masing blogger mengemukakan pendapatnya tentang krisis yang
dihadapi PTSI dan apa yang mereka ketahui tentang PTSI melalui tulisan, foto,
dan video berdasarkan pengalamannya mengikuti WEGI. Bahkan beberapa dari mereka
menulis secara detail tentang
bagaimana teknologi eksplorasi PTSI yang akan diterapkan di Rembang telah
memenuhi dan bahkan diatas standar internasional yang akan mampu meminimalisir
sekecil mungkin kerusakan lingkungan yang dikawatirkan warga Kendeng, Rembang.
Komunitas Blogger
WEGI merupakan komunitas yang dibentuk oleh PTSI melalui tiga kali sesi WEGI.
Periode pertama dilakukan pada Desember 2014 mayoritas pesertanya adalah
masyarakat Rembang, periode kedua Februari 2015, dan periode ketiga pada Juni
2015 yang diikuti oleh blogger dari
berbagai daerah seperti Bandung, Jakarta, Semarang, Jogja, Rembang, Tuban,
Surabaya, Bojonegoro, dan Gresik. Setiap edisi WEGI diikuti oleh kurang lebih 150
peserta yang merupakan penggiat media sosial dan blogger dengan usia rata-rata antara 19–25 tahun. Pada program WEGI
ini para peserta diberikan edukasi seputar usaha yang dilakukan oleh PTSI mulai
proses produksi, pembangunan pabrik, teknologi ramah lingkungan yang digunakan,
product development, pangsa pasar,
prospek bisnis, pembinaan mitra UKM, aktivitas CSR, dan kepedulian terhadap
masyarakat sekitar. Kemudian berbekal pengetahuan yang telah didapat para
peserta dipacu untuk mewujudkan referensi pengetahuannya seputar PTSI kedalam
karya-karya berupa foto, tulisan, video reportase yang wajib mereka upload di blog dan media sosial yang
mereka miliki dengan mencatumkan mentions
kepada akun twitter dan facebook PTSI. Melalui program ini, PTSI
benar-benar ingin memaksimalkan para peserta untuk berperan sebagai agen-agen
yang akan memberikan pencerahan terhadap masyarakat terkait apa saja yang
selama ini dilakukan oleh PTSI. Mereka diharapkan menjadi online public relations bagi
PTSI yang akan membantu PTSI berjuang di masa krisis melalui tulisan-tulisannya
di blog dan media sosial yang mencerahkan. Menurut Briones dan Paquette (2013)
media sosial kini telah dikenal secara luas sebagai aspek yang penting dan
dibutuhkan dalam praktik-praktik public
relations. Semakin banyaknya stakeholder
dari kalangan yang lebih muda (termasuk dalam digital natives) yang terlibat dalam praktik online public relations
membuat batasan antara kegunaan personal dan profesional dari media sosial
tidak terdefinisi secara jelas. Sehingga praktisi profesional public relations harus menyadari bahwa mentoring atau proses transfer
pengetahuan tentang organisasi kepada stakeholder
yang memiliki potensi sebagai agen-agen komunikasi bagi organisasi.
Melalui WEGI, PTSI
meyadari bahwa mereka tidak bisa bekerja sendirian untuk mencerahkan begitu
banyak masyarakat yang masih buta terkait bisnis yang mereka lakukan. Kekuatan
mereka tidak sebanding dengan banyaknya jumlah stakeholders. Grunig et al.
dalam Omilion-Hodges et al. (2012) mengemukakan bahwa walaupun praktisi public relations sangat berperan krusial
dalam perjalanan sukses sebuah organisasi, mereka juga harus menyadari bahwa
pengetahuan yang dimiliki oleh stakeholders
tekait organisasi juga merupakan fondasi yang kuat bagi public relations. Oleh karena itu para praktisi public relations harus mengetahui taktik
public relations yang impactful di mata stakeholders. Yang
berarti organisasi tidak bisa asal-asalan dalam melibatkan stakeholders pada
sebuah aktivitas public relations. Apa
yang dilakukan PTSI melalui WEGI ditinjau dari kualitas pengetahuan yang
diperoleh peserta (stakeholder)
sangat sesuai dengan apa yang diharapkan oleh PTSI. Hal itu bisa dilihat dari
kesesuaian antara materi yang diberikan pada waktu program dan respon peserta
yang berupa tulisan, foto, maupun video reportase pada blog dan media sosial
setelah mengikuti program. Materi pengetahuan terkait perusahaan yang
disampaikan oleh para praktisi dari PTSI tidak ada yang terlewatkan oleh
peserta.
PTSI melihat
kekuatan para blogger ini sebagai potensi yang sangat besar karena mereka bisa
menjadi online public relations yang
mampu memberikan pengaruh bagi publik atau stakeholders-nya
dan mampu memberikan solusi dalam situasi sehari-hari maupun krisis (Berger
dalam Omilion-Hodges et al., 2012). Kehadiran
komunitas blogger sebagai agen-agen komunikasi bagi PTSI ini diharapkan dapat
menjadi salah satu tools dari
banyaknya aktivitas public relations
yang ditempuh PTSI dalam mengurai krisis yang dihadapi dan mengantisipasi
terjadinya krisis di masa depan.
Studi ini akan
mengidentifikasi dan mengkaji aktivitas online
public relations yang dijalankan oleh para Komunitas Blogger WEGI dalam perannya
untuk mendukung PTSI dalam menghadapi dan mengurai krisis yang terjadi terkait
dengan pembangunan pabrik semen baru di Kendeng, Rembang. Kemudian akan dibahas
bagaimanakah peluang-peluang pelibatan stakeholders
dalam aktivitas online public relations
di sektor industri.
2.
Signifikansi
Permasalahan
Menurut Coombs
(2007), manajemen krisis merupakan fungsi yang sangat krusial bagi organisasi,
karena sedikitpun kesalahan yang terjadi dalam menangani krisis akan memberikan
dampak yang tidak baik bagi stakeholders,
kerugian bagi organisasi dan mengancam keberadaan organisasi. Sementara itu
Coombs menambahkan bahwa public relations
merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam sebuah tim manajemen krisis. Oleh
karena itu praktik-praktik dan pengetahuan tentang bagaimana krisis harus di
kelola dan diatasi merupakan modal mutlak yang harus dimiliki oleh setiap
praktisi public relations.
Krisis menurut
Coombs (2015) didefinisikan sebagai ancaman signifikan yang menghasilkan
beberapa konsekuensi negatif jika tidak ditangani secara hati-hati dan
terorganisir. Manajemen krisis berperan untuk mengantisipasi atau mengurangi
dampak dari krisis yang dapat mempengaruhi organisasi, stakeholders maupun bisnis dan industri terkait.
Manajemen
pengelolaan krisis menurut Coombs dibagi menjadi tiga fase yaitu (1) pre-crisis, (2) crisis response, dan (3) post-crisis.
Fase pre-crisis terkait dengan
antisipasi dan persiapan melalui pengelolaan isu-isu. Crisis response merupakan fase dimana manajemen harus berhadapan
dan merespon sebuah krisis. Sedangkan pada fase post-crisis, manajemen harus mencari solusi untuk mempersiapkan dan
menyusun komitmen yang akan ditempuh pada crisis
phase jika krisis mungkin terjadi di waktu mendatang.
Berdasarkan
deskripsi konflik yang telah disampaikan sebelumnya, krisis yang dialami PTSI
termasuk dalam fase Crisis response, dimana
tim manajemen krisis PTSI harus menghadapi krisis yang sedang terjadi dan harus
direspon dengan langkah-langkah yang tepat sesuai dengan karakteristik krisis.
Salah satu praktik public relations yang dilakukan PTSI pada masa krisis adalah
dengan melaksanakan program WEGI yang merupakan perpaduan program factory visit dengan online public relations.
Permasalahan
terkait krisis PTSI ini dipandang sebagai hal yang penting untuk dikaji karena
seperti dikemukakan Coombs (2007) bahwa krisis mampu mendatangkan dampak yang
negatif bagi organisasi dan stakeholders.
Terlebih jauh lagi Coombs (2007) menambahkan bahwa krisis bisa membawa organisasi kepada masalah seperti (1)
hilangnya kenyamanan publik, (2) kerugian finansial, dan (3) turunnya reputasi.
Selain itu berdasarkan UU RI Nomor
19 tahun 2003 tentang BUMN bahwa PTSI sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
yang strategis merupakan tulang punggung perekonomian negara yang
keterlibatannya dengan rakyat tentunya tidak hanya diukur melalui pencapaian
finansial namun juga ukuran hubungan yang saling menguntungkan dengan
masyarakat sekitar. Sedangkan krisis bisa membawa PTSI dalam kondisi yang
semakin jauh dengan stakeholders.
Sementara itu
salah satu respon PTSI melalui WEGI dan Komunitas Blogger WEGI sebagai company online ambassador telah sejalan dengan Initial Crisis Response Best Practices menurut Coombs (2007) yaitu
pemanfaatan website secara tersendiri untuk menampung informasi seputar krisis.
Website wisatagreenindustry.com yang
sejatinya adalah website untuk
program WEGI tersebut memiliki konten tulisan-tulisan para blogger peserta WEGI yang diharapkan dapat memberikan pengaruh bagi
masyarakat yang belum mengetahui informasi tentang PTSI. Menurut Omilion-Hodges
et al. (2012), praktik online public
relations melaui blog akan lebih
dipandang kredibel di masa krisis dari pada taktik tradisional lainnya.
Artinya, langkah yang diambil PTSI dengan mengandalkan blogger untuk krisis ini bisa dipandang tepat namun yang belum
diketahui adalah apakah tulisan-tulisan para blogger tersebut menjangkau
masyarakat yang terdampak langsung oleh pembangunan pabrik di Kendeng, Rembang.
Praktik online public relations ini juga penting
untuk dikaji mengingat perkembangan masyarakat sekarang sudah bergeser pada
generasi digital natives yang artinya
wilayah stakeholders aktivitasnya
mulai bergeser juga dari dunia nyata ke dunia virtual. Oleh karena itu, treatment dari organisasi terkait public relations mau tidak mau juga
harus mengikuti perkembangan ini.
3.
Pendekatan
Teoritis
3.1
Komunikasi di Masa Krisis
Kekuatan
komunikasi di masa krisis akan sangat menentukan bagaimana perjuangan dalam
mempertahankan reputasi organisasi. Menurut Grunig dalam Paine (2002)
komunikasi yang paling efektif adalah yang dilakukan saat isu-isu belum
bertransformasi lebih jauh menjadi krisis. Grunig menambahkan akan sangat berat
bagi sebuah organisasi dalam menyelesaikan krisis jika pada tahap isu
organisasi belum memulai untuk berkomunikasi dengan publiknya. Dalam statement-nya ini Grunig berusaha
menjelaskan bahwa tindakan preventif tetaplah yang terbaik dalam mencegah dan
mengelola krisis. Perusahaan harus cepat berinteraksi dengan stakeholders saat isu-isu muli muncul.
Artinya komunikasi melalui aktivitas public
relations yang paling utama seharusnya dilakukan pada fase pre-crisis.
Namun
jika krisis telah terjadi tidak ada alasan bagi sebuah organisasi selain
menghadapi dan memberikan respon terhadap krisis tersebut. Coombs (2014)
melalui Initial Crisis Response Best
Practices menyebutkan beberapa langkah yang harus dilakukan dalam sebuah
komunikasi di fase krisis yaitu memberikan respon secara cepat pada satu jam
pertama, inventarisir fakta-fakta krisis dengan akurat, secara konsisten
memberikan update perkembangan krisis kepada spokesperson, menjadikan keamanan publik sebagai prioritas utama,
menggunakan saluran komunikasi yang tersedia (media sosial, website, intranet),
menunjukkan simpati dan kepedualian kepada terdampak krisis, melibatkan
karyawan dalam merespon krisis, menyediakan konseling bagi terdampak krisis dan
karyawan.
Krisis
yang menerpa sebuah organisasi juga mengakibatkan turunnya reputasi organisasi
di mata stakeholders (Coombs, 2007). Oleh
karena itu komunikasi untuk memulihkan reputasi organisasi merupakan langkah
yang harus ditempuh. Coombs (2014) memaparkan beberapa strategi dalam
memperbaiki reputasi organisasi.
Master List of
Reputation Repair Strategies (Coombs, 2014)
a)
Attack
the accuser: crisis manager confronts the person or group claiming something is
wrong with the organization.
b)
Denial:
crisis manager asserts that there is no crisis.
c)
Scapegoat:
crisis manager blames some person or group outside of the organization for the
crisis.
d)
Excuse:
crisis manager minimizes organizational responsibility by denying intent to do
harm and/or claiming inability to control the events that triggered the crisis.
e)
Provocation:
crisis was a result of response to some one else’s actions.
f)
Defeasibility:
lack of information about events leading to the crisis situation.
h)
Good
intentions: organization meant to do well
i)
Justification:
crisis manager minimizes the perceived damage caused by the crisis.
j)
Reminder:
crisis managers tell stakeholders about the past good works of the
organization.
k)
Ingratiation:
crisis manager praises stakeholders for their actions.
l)
Compensation:
crisis manager offers money or other gifts to victims.
m)
Apology:
crisis manager indicates the organization takes full responsibility for the crisis
and asks stakeholders for forgiveness.
Sebagai catatan
bahwa pemulihan reputasi bisa dilakukan di fase krisis, post-crisis, maupun keduanya. Namun tidak semua krisis membutuhkan
usaha pemulihan reputasi.jika usaha pemulihan reputasi memang sangat dibutuhkan
maka hal itu akan lebih baik dilakukan pada fase post-crisis (Coombs, 2014).
3.2
Social Media Crises (Paracrises)
Semakin
meluasnya penggunaan media sosial dan blog
memberikan peluang bagi beragamnya krisis yang mungkin dihadapi oleh sebuah
perusahaan. Krisis di area media sosial sebenarnya adalah resiko
dari perusahaan ketika mereka mengalami krisis di dunia nyata (Research Journal of the Institute for Public
Relations Vol. 1, 2014). Artinya bahwa dengan semakin meleknya masyarakat
akan penggunaan internet dan media sosial maka meluasnya krisis ke ranah online
merupakan resiko bagi organisasi yang mengalami krisis. Perbedaaanya adalah
krisis yang terekspos ke media sosial akan lebih cepat menyebar karena sifat
media sosial yang lebih mudah di akses.
Salah
satu jenis krisis di media sosial adalah venting.
Yaitu ketika stakeholders melakukan
perbuatan yang ingin menjatuhkan organisasi dari segi apapun misalnya ketika mereka
mem-posting sesuatu yang negatif
tentang organisasi tersebut (Research
Journal of the Institute for Public Relations Vol. 1, 2014).
Langkah yang harus ditempuh ketika
terjadi venting adalah membiarkan venting tetap terjadi, biarkan stakeholders melakukan apapun bahkan
jika komennya menyakitkan bagi perusahaan. Hindari untuk membalas dengan
kata-kata yang kasar (Grégoire, Laufer
& Tripp dalam Research Journal of the
Institute for Public Relations Vol. 1, 2014).
3.3
Corporate Social Communication (CSC)
Menurut Park
& Cameron (2013) CSC merupakan aktivitas yang proaktif, berorientasi masa
depan untuk meyeimbangkan segi finansial, sosial, dan lingkungan dengan rencana
yang spesifik dan berkelanjutan melalui gerakan pelibatan stakeholders dalam edukasi maupun pemberdayaan.
CSC
ini dinilai lebih efektif bagi industri dalam mendapatkan kepercayaan stakeholders dibandingkan dengan apa
yang selama ini dilakukan oleh pelaku industri dengan pembelaan-pembelaannya
terkait isu-isu seputar resiko terhadap lingkungan yang dikeluhkan oleh stakeholders sebelum terjadi sebuah
krisis. CSC juga lebih efektif dalam membangun sebuah legitimasi sosial dan
lingkungan. Perusahaan yang melakukan CSC dipandang lebih akomodatif terhadap stakeholders. Selain itu, ketika sebuah
perusahaan diterpa krisis CSC juga dinilai lebih efektif dalam membangun
reputasi perusahaan menjadi lebih positif (Park & Cameron, 2013)
3.4
Public Relations di Era Digitalisasi
Grunig (2009)
menjelaskan bahwa walaupun tidak banyak mendapatkan perhatian dalam perannya
pada aktivitas public relations, new
media memiliki potensi untuk mejadikan aktivitas public relations menjadi
lebih global, strategis, interaktif, simetris dan dialogis, dan socially responsible. Namun yang terjadi adalah banyak praktisi
yang menggunakan new media sama
seperti apa yang mereka lakukan dengan
media-media sebelumnya hanya dengan membombardir stakeholders dengan
pesan-pesan yang tidak mereka butuhkan daripada memilih memanfaatkan new media secara strategis yang berarti
berinteraksi dengan publik untuk memperoleh informasi dan referensi yang dapat
mendukung pengambilan keputusan perusahaan.
New media juga memberikan peluang untuk
menyebarluaskan pengalaman antara stakeholders-organisasi
yang telah dipupuk melalui kegiatan stakeholders
engagement ke dunia maya. Yang dan Kang (2009) dalam penelitiannya tentang
validitas engagement pada blog, salah
satu varian new media yaitu blog
memiliki skala engagement yang valid
dan reliable. Dimensi-dimensi engagement yang
diukur antara lain (1) interaktivitas, (2) hubungan stakeholders-organisasi
(dimensi kognitif), (3) dimensi perilaku organisasi, (4) word-of-mouth intentions (the behavioral dimension). Penelitian
tersebut menunjukkan bahwa blog yang interaktif mamapu membangun hubungan stakeholders-organisasi, sikap yang
positif terhadap organisasi, dan dukungan berupa word-of-mouth dari stakeholders.
3.5
Teori Stakeholder Engagement
Menurut Waddock (2002) stakeholder engagement dijelaskan sebagai kolaborasi berbasis
kepercayaan antara para individu dan atau institusi sosial dengan
objektif-objektif berbeda yang hanya dapat diraih dengan kebersamaan. Dengan
demikian, organisasi perlu untuk mengetahui permintaan dari para pemangku
kepentingannya (stakeholders) yang
mana dapat dilakukan dengan mencari tahu tentang apakah ada perbedaan
kepentingan, kepedulian, dan ekspektasi dari bermacam-macam kelompok para
pemangku kepentingan yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan organisasi.
Dalam kaitannya dengan hal-hal tersebut, stakeholder
engagement dapat memfasilitasi organisasi untuk mengenal
permintaan-permintaan atau keinginan-keinginan dari stakeholders (Isenmann dan Kim dalam Tandiawan, 2013). Engagement sendiri juga berarti
pertanggungjawaban organisasi terhadap para pemangku kepentingan dan memastikan
bahwa keputusan-keputusan organisasi didasari oleh pengertian yang penuh dan
akurat dari asprirasi-aspirasi dan kebutuhan-kebutuhan para pemangku
kepentingannya (ISEA dalam Tandiawan, 2013).
4.
Analisis
Studi ini
dilakukan dengan observasi lapangan saat program WEGI edisi 3 dilaksanakan pada
6 Juni 2015 dan juga pengamatan di media sosial dan blog para peserta WEGI edisi1,2, dan 3. Observasi lapangan yang
dilakukan meliputi proses pendampingan pada perjalanan peserta menuju pabrik
oleh pemateri, sesi presentasi dan tanya jawab, dan sesi factory visit. Sedangkan observasi online dilakukan dengan
mengamati tulisan-tulisan peserta WEGI di blog-blog yang tertaut dari website wisatagreenindustry.com.
Hasil dari
pengamatan tersebut menunjukkan bahwa 35 orang dari 150 orang peserta menjadi
lebih luas pengetahuannya tentang PTSI. Bahkan pada sesi presentasi walaupun
pihak PTSI tidak memberikan hand out
namun para peserta aktif menulis konten presentasi. 35 peserta tersebut menulis
tentang pengalaman mereka dipadukan dengan pengetahuan yang mereka dapat di blog maing-masing.
4.1
Wisata
Edukasi Green Industry (WEGI)
Wisata Edukasi
Green Industry (WEGI) merupakan program berbasis komunitas online yang diadakan
oleh PTSI. Program yang memadukan antara wisata industri (factory visit) dan online
citizen journalism ini diadakan setelah adanya krisis dan konflik terkait
pembangunan pabrik baru di Kendeng, Rembang.
Tujuan dari
diadakannya program WEGI ini adalah untuk mengedukasi masyarakat yang diwakili
oleh para komunitas blogger terutama
dari Rembang bahwa pabrik semen yang dijalankan oleh PTSI ini telah memenuhi
berbagai standar keamanan dan keramahan terhadap lingkungan. Program ini juga
sebagai tanggapan dari konflik yang terjadi di Rembang setelah PTSI dituntut
oleh warga Rembang di PTUN Semarang, Jawa Tengah karena dituduh tidak
menjalankan AMDAL sesuai dengan ketentuan. Website www.bumn.go.id/semenindonesia
memberikan deskripsi singkat terkait WEGI :
“WEGI
akan terus bergulir dan menjadi embrio Komunitas Green Industry di Indonesia.
Partisipasi sobat semua tidak hanya akan memberikan manfaat bagi Semen
Indonesia Group, tetapi juga membangun industri hijau di Indonesia. Apa yang
kita lakukan hari ini adalah salah satu upaya memberikan warisan yang baik dan
SDA yang masih dapat dimanfaatkan anak cucu di masa mendatang."
Dari
deskripsi tersebut PTSI melalui WEGI berusaha untuk membangun engagement melalui pelibatan stakeholders-nya dalam melakukan edukasi
kepada publik untuk turut membangaun reputasi PTSI sebagai salah satu BUMN yang
telah menerapkan konsep green industry.
4.2
Peran
dan Fungsi Wisata Edukasi Green Industry (WEGI)
Program WEGI
yang dilaksanakan setelah terjadinya krisis di Kendeng, Rembang merupakan salah
satu respon PTSI terhadap krisis tersebut. Program ini merupakan penerapan Corporate Social Communication (CSC)
yang dipadukan dengan stakeholder
engagement dimana PTSI dengan proaktif melibatkan stakeholders dalam sebuah
aktivitas bersama untuk menyatukan visi (Park & Cameron, 2013) sehingga
melahirkan saling kesepahaman tujuan antara keduabelah pihak (Waddock, 2002) .Melalui WEGI, PTSI berusaha menunjukkan bahwa
metode dan cara eksplorasi tambang batu dan produksi semen yang mereka lakukan
selama ini sudah berada di jalur yang benar dengan menerapkan
teknologi-teknologi yang ramah lingkungan dan bertanggung jawab terhadap
lingkungan sekitar. Program WEGI juga merupakan usaha yang ditempuh PTSI untuk
mengingatkan bahwa selama ini pihaknya telah melakukan eksplorasi dan
kaidah-kaidah tanggung jawab lingkungan yang telah memberikan manfaat bagi
lingkungan dan masyarakat seperti apa yang telah mereka lakukan di pabrik
Gresik dan Tuban.
Usaha-usaha
yang dilakukan oleh PTSI melalui WEGI tersebut sejalan dengan beberapa poin
dalam Master List of Reputation Repair
Strategies yang dikemukakan oleh (Coombs, 2014) yaitu good intentions dan reminder.
Strategi good intentions yaitu
menjelaskan kepada stakeholders bahwa
apa yang mereka lakukan telah memenuhi standar-standar yang ditetapkan
pemerintah dalam industri dan tidak bermaksud memberikan kerugian maupun
kerusakan bagi lingkungan. Sedangkan reminder
yaitu mengingatkan stakeholders bahwa
apa yang mereka lakukan sebelumnya telah memberikan kebaikan dan manfaat bagi stakeholders.
Karena
krisis juga telah berkembang ke ranah virtual atau dunia maya PTSI melalui WEGI
ini berusaha untuk merangkul para komunitas blogger
untuk dijadikan sebagai company
ambassador yang diharapkan mampu memberikan edukasi kepada stakeholders melalui karya berupa
tulisan,foto, mupun video di media sosial dan blog. Salah
satu peran para Komunitas Blogger WEGI adalah meng-counter para stakeholders pelaku venting dengan memberikan informasi-informasi yang baik terkait
PTSI. Beberapa stakeholder melakukan venting dengan menuliskan berbagai
komentar yang negatif tentang PTSI dalam blog
mereka untuk mempengaruhi publik (Research
Journal of the Institute for Public Relations Vol. 1, 2014). Dalam kasus
ini Komunitas Blogger WEGI terlibat dalam menyeimbangkan informasi terkait PTSI
dengan mem-posting
informasi-informasi positif yang mereka dapatkan dari keikutsertaannya di
program WEGI.
Komunitas
yang telah terbentuk dalam tiga edisi WEGI ini terbukti sangat antusias untuk
menjadi company ambassador PTSI
dengan banyaknya tulisan dan karya-karya lain yang mereka posting di blog pribadi, youtube, facebook dan twitter. Beberapa
status facebook, twitter, dan blog bahkan dikomentari oleh teman-temannya
secara positif sehingga beberapa dari mereka tertarik ingin mengikuti program
WEGI ini.
5.
Kesimpulan
Studi
tentang WEGI ini memaparkan bahwa munculnya komunitas-komunitas yang memiliki
potensi untuk memberikan dukungan bagi sebuah perusahaan merupakan peluang yang
harus ditangkap oleh perusahaan untuk merangkul mereka melalui kegiatan
berbasis community engagement maupun
CSC. Beberapa contoh potensi komunitas
bisa dilihat melalui keterlibatannya di dunia maya dalam mendukung perusahaan
melalui karya-karya tulisannya.
Walaupum
efektifitas pesan-pesan mereka melalui blog dan media sosial belum bisa
terukur, program ini masih memiliki peluang untuk dikembangkan lagi misalkan
dari segi keaktifan peserta di dunia maya dalam mempromosikan karya-karya
tulisannya. Teknologi Search Engine Optimization (SEO) yang semakin mendukung
sebuah website untuk mudah dicari dan
mudah tampil di search engine mungkin bisa menjadi pilihan tambahan untuk
meningkatkan tingkat penyebaran pesan.
Program
WEGI ini memperlihatkan bahwa sangat mungkin membangun kedekatan dengan stakeholders dan memperoleh dukungan
dari mereka asalkan mereka dilibatkan dalam kegiatan yang menempatkan mereka
sebagai pihak yang memiliki potensi dalam perkembangan dan pertumbuhan sebuah
perusahaan.
Referensi
Briones,
R., Janoske, M., & Paquette, M. (2013). New media, new mentoring: An
exploration of social media’s role in public relations mentorships. PRism 9(1): http://www.prismjournal.org/homepage.html
Grunig,
J. E. (2009). Paradigms of global public relations in an age of digitalisation.
PRism 6(2):http://praxis.massey.ac.nz/prism_on-line_journ.html
Omilion-Hodges, L. M., Baker, C. R., &
Weaver-Petry, B. (2012). Understanding power in public relations in the age of
digital natives and citizen journalists. PRism 9(2): http://www.prismjournal.org/homepage.html
Park.
S., & Cameron, G. T. (2013). Proactive environmental risk
communication:Science reporters’ evaluation of for-profit corporations’ sustainability
communication. PRism Journal The Institute for Public Relations
Paine,
Katie Delahaye (2002). How to measure your results in a crisis Copyright. PRism
Journal The Institute for Public Relations
Research
Journal of the Institute for Public Relations Vol. 1, No. 1 (Summer 2014) ©
Institute for Public Relations
Tandiawan,
Wendy (2013). The state of disclosures on stakeholder engagement in
sustainability reporting in Australian local councils. Universitas
Tarumanagara, Jakarta
Waddock,
S.A., Bodwell, C., Graves, S.B. 2002. Responsibility : The New Business
Imperative. Academy of Management Executive, Vol. 16 No.2
Yang,
Sung-Un, & Kang, Minjeong (2009). Measuring blog engagement: Testing a
four-dimensional scale. Public Relations Review, 35(3), 323-324.
http://www.instituteforpr.org/crisis-management-and-communications/ (diakses pada 22 Juni 2015, 22:30)
http://www.instituteforpr.org/crisis-management-communications/(diakses pada 22 Juni 2015, 22:30)
http://www.bumn.go.id/semenindonesia/berita/1547/Pantia.Wisata.Green.Industry.Jilid.3.Siapkan.Reward.untuk.Peserta (diakses pada 22 Juni 2015, 22:30)
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/04/16/063658309/kasus-izin-pt-semen-indonesia-gugatan-warga-rembang-ditolak (diakses pada 22 Juni 2015, 22:30)